Saturday, March 29, 2014

PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW)

PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM
(EQUALITY BEFORE THE LAW)





DWI YANA
NPM: 12212315



FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014





KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Persamaan di hadapan Hukum (Equality Before The Law)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang konstruktif untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Maret 2014

    Penulis








BAB I
PENDAHULUAN

     A.     Latar Belakang
Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.
Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas Persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.
UUD 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat (1). Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum  yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’, artinya  tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.        Konsep Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law)
1.    Konsep Equality Before The Law dalam negara hukum
Di belahan seantero bumi ini, terkenal dalam kalangan penggiat ilmu hukum. Ditambah lagi kedua aliran besar berasal dari negara-negara yang menjajah pada abad kolonialisasi.  Kedua aliran itu diantaranya;
a.       Civil law
Pemikiran timbulnya negara hukum timbul sebagai reaksi dari adanya konsep negara polis (polizei staat). Polizei staat berarti negara menyelenggarakan keamanan dan ketertiban serta memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya. Tetapi konsep negara ini lebih banyak diselenggarakan oleh penguasa. Seperti yang dikatakan oleh Roberto Von Mohl “sebagai polisi yang baik melaksanakan fungsinya berdasarkan hukum serta memperhatikan masyarakat. Tetapi yang banyak ialah polisi yang tidak baik, yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat yang memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Konsep negara hukum Imanuel Kant yang ditulis dalam karya ilmianya yang berjudul “Methaphysiche Ansfangsgrunde”.
“sebagai dikemukakan bahwa pihak yang bereaksi teehadap negara Polizei ialah “orang-orang kaya dan cendikiawan”. Orang kaya (borjuis) dan cendikiawan ini menginginkan agar hak-hak kebebasan pribadi tidak diganggu, yang mereka inginkan ialah hanya ingin kebebasan mengurusi kepentingannya sendiri. Konkritnya ialah agar permasalahan perekonomian menjadi urusan mereka dan negara tidak ikut campur dalam penyelenggaraan tersebut”.

Jadi negara dalam konteks ini hanya menjaga ketertiban dan keamanan, karena konsep ini biasanya disebut dengan negara hukum penjaga malam (Nacht wachter Staat). Dan dikenal konsep negara hukum yang ditawarkan oleh Kant ialah negara hukum liberal.

Selain imenuel Kant, konsep negara hukum Eropa oleh Frederich Julius Stahl, dalam karya ilmiah yang berjudul “philosopie des rechts”, diterbitkan pada tahun 1878. Sama halnya dengan kant, hanya memperlihatkan unsur formalnya saja dan mengabaikan unsur materialnya. Karena itu konsep negara ini dinamakan konsep negara formal. Stahl berusaha menyempurnakan negara hukum liberal milik Kant. Dengan pengaruh paham liberal dari JJ. Rousseau, Stahl menyusun negara hukum formal dengan unsur-unsur sebagai berikut;
1.       Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia.
2.       Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara haruslah berdasarkan theory atau konsep trias politica.
3.       Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang (wetmating bestuur).
4.       Apabila dalam melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi, maka ada pengadilan administrasi yang mengadilinya.
Dari konsep Stahl ini dapat sambil keimpulan bahwa negara hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan membatasi kekuasaan terhadapnya.
Pada abad ke XX negara hukum mengalami perkembangan yang mendapat perhatian dari para pemikir dari berbagai bangsa yang menginginkan kehidupan yang demokratis, berkemanusiaan dan sejahtera. Diantaranya ialah konsep yang diutarakan oleh Paul Scholten, ada unsur utama dalam membahas Negara Hukum. Pertama; adanya hak warga negara terhadap Negara/ Raja.  Kedua; adanya pembatasan kekuasaan, dengan mengikuti Montesquieu, Scholten mengemukakan adanya tiga kekuasaan yang harus terpisah satu sama lain, yaitu kekuasaan pembentukan undang-undang (legeslatif), kekuasaan pelaksana Undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif).

b.      Comman law
Di Inggris ide negara hukum sedah terlihat dalam pemikiran Jhon locke, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian. Antara lain dia membagi kekuasaan membuat undang-undang dan kekuasaan pelaksana undang-undang, dan ini berkaitan erat dengan konsep the Rule of Law yang sedang berkembang di Inggris pada waktu itu. Di Inggris the rule of law dikaitkan dengan hakim dalam rangka menegakannya.
Albert Van Dicey, adalah seorng pemikir Inggris yang masyur, menulis buku yang berjudul “Introduktion to the study of the law of the constitution”, mengemukakan tiga hal unsur utama the rule of law:
1.       Supremacy of law adalah mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ialah hukum (kedaulatan hukum).
2.        Equality before the law ; kesamaan bagi kedudukan hukum didepan hukum untuk semua warga negara, baik selaku pribadi maupun statusnya sebagai pejabat negara.
3.       Constitusional based on individual right; constitusi itu ialah tidak merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi itu diletakan dalam konstitusi itu hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi.

Konsep the rule of law yang dikemukakan Albert Van Dicey pada tahun 1885 sudah mengalami perubahan sepanjang perjalanan. Dilain pihak the rule of law  dapat disalah tafsirkan, karena the rule of law dapat pula diartikan “dari hukum yang baik berdiri diatas penguasa yang baik dan dihormati penguasa dan dapat juga diartikan sebagai rule yang buruk dibuat secara sewenang-wenang dan dilaksanakan sewenang-wenang pula oleh seorang tirani.
Berikut ini penelitian yang dilakukan oleh Wade dan Philips yang dimuat dalamConstitusional law. Ia berpendapat bahwa the rule of law yang dilaksanakan pada tahun 1955 sudah berbeda dibandingkan dengan waktu awalnya. Mengenai unsur pertama the rule of law  yaitu supremasi hukum, sampai hari ini masi menjadi unsur yang terpenting dalam kostitusi Inggris. Hanya ada kelompok yang taat pada hukum yang khusus pada kelompoknya dan keadilan atas ketaatan kelompok tersebut diadili secara khusus pula, seperti kelompok militer yang berada diluar yuridiksi pengadilan militer, kelompok Gereja yang diadili oleh pengadilan gereja. Walaupun supremasi hukum masih merupakan unsur esensial, namun negara turut campur dalam berbagai bidang individu warga negara. Karena itu dengan syarat kepentingan umum, negara atau pemerintah dapat mengambil tindakan yang tidak mungkin dapat dibayangkan terlebih dahulu. Tindakan ini sudah barang tentu didasarkan apa yang disebut freies ermessen. Hal ini tentunya mengurangi kadar supreasi hukum.
Mengenai unsur kedua yaitu kesamaan dihadapan hukum. Hal ini tidaklah berarti bahwa kekuasaan warga negara dapat disamakan dengan kekuasaan pejabat negara, pemberiaan kekuasaan khusus kepada pejabat negara untuk melaksanakan tugas kenegaraan dianggap tidak melanggar the rule of law. Selai itu, ada pula yang merupakan pengecualian, diantaranya; (a) hak imunitas bagi raja, (b) wakil negara lain juga mempunyai hak kekebalan, (c) persatuan dagang dapat mengatur sendiri urusannya kedalam, dan (d) adanya kekuasaan arbitase.

Hal diatas dianggap oleh sebahagian ahli adalah mengurangi makna dari the rule of law.Selain kedua sarjana tersebut, pada tahun 1976, Roberto Mangaberia, menulis karya law in modern society; bahwa dewasa ini terjadi; pertama; meluasnya arti “kepentingan umum”, seperti pengawasan terhadap kontrak-kontrak yang curang, penimbunan barang, monopoli, hal ini menunjuka bahwa campur tangan pemerintah menjadi lebih luas. Kedua;adanya peralihan dari gaya formalitas dari the rule of law ke orientasi prosedural yang subtantif dari keadilan. Hal ini terjadi karena dinamika negara kesejahteraan (the welfare state). Hal terakhir ini biasanya disebut due proses of law. Negara Inggris lebih mengutamakan bagaimana agar keadilan benar-benar dinikmati oleh warganya.  

2.    Konsep Equality Before The Law didalam negara pancasila
Begitu juga dengan negara hukum Indonesia yang telah meratifikasi konsep dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang tertuang didalam Konstitusi dan semangat pancasilaisme. Instrumen Hak Asasi Manusia induk yang telah diratifikasi tercermin didalam  UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Konvenan Hak Sipil Politik, dan kenvensi-konvensi maupun norma-norma PBB yang lainnya. Tetapi Indonesia telah berubah dalam prilaku maupun penegakan hukum itu sendiri. Terlebih lagi menyangkut tentang  Equality Before The Law didalam aktivitas hukum Indonesia pancasila. Ada beberapa segi yang perlu ditinjau dari konsep Equality Before The Lawpunyanya pancasila dengan tidak meninggalkan sejengkalpun prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, penjelasan yaitu
Keadilan Sosial
Berbicara kedilan sosial, tidak ada pemisahan antara hak sipil politik dengan hak ekonomi sosial dan budaya. Kedua induk HAM ini harus selajan beriringan. Tidak ada yang diprioritaskan dalam pelaksanaannya. Tentang Equality Before The Law bukan hanya dalam satu sisi diatas. Hak dibidang politik misalnya; hak dasar dibidang politik tercermin dalam pasal 28 “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan tulisan maupun lisan ditetaipan dalam Undang-undang”. Selanjutnya pasal 27 Ayat 1, “segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintah tidak ada kecualinya:. Penjelasan pasal itu menegaskan prinsip penting bahwa Indonesia adalah negara hukum dan diperkuat dalam amandemen Pasal 1 Ayat 3 berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum”.
Kritikan penulis, walaupun negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang telah dijelaskan dan tertuang didalam kostitusi. Tetapi harus diingat bahwa tujuan negara adalah beranjak kepada keadilan sosial yang tertuang didalam konstitusi juga. Saya kutif pernyataan konstitusi yang terdapat di preambul UUD Tahun 1945 dari awal berlaku sampai Amanden ke-4 masi h berlaku;
“kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Republik Indonesia, yang berbentuk dalam susunan Negara Repuplik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh himkat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perperwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Maka dari itu, Robeerto M. Unger “Law and Modren Society: Toward a Criticism Of Social Theory” menjelaskan tentang Rule Of Law dalam; pertama; Rule Of Law dalam arti luas. Rule Of Law didefenisikan lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality), seragam (uniformity), dan dapat diprediksiakan (predictability). Penggunaan pemerintah harus berlangsung didalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan tindakan. Segenap peeraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Dengan demikian dipahami Rule Of Law tidak ada hubungannya dengan muatan norma-norma hukum. KeduaRule Of Law dalam arti bebas. Maka ideal tersebut dalam versi yang lebih ketat mengajukan tuntutan-tuntutan kepada metode legislasi sendiri. Ideal Rule Of Law menghendaki agar hukum dibuat menurut prosedur yang dapat diterima setiap orang turut menyumbangkan peran sertanya dalam proses pembuatan hukum. Karena itu, diharapkan tatanan hukum akan memiliki sifat yang digambarkan sebagai otonomi Subtantif; mewakili keseimbangan diantara golongan-golongan yang saling bersaing, bukan perwujudan kepentingan dan cita-cita faksi tertentu

     B.      Persamaan di Hadapan Hukum
Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”; maka negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap orang berlaku dengan tidak membeda-bedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.
Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem).
Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.
Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all). Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee)seorang advokat yang tidak terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan hukum tidak tercapai.
Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan Von Briesen sebagai berikut:
Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the socialist who cries that the poor have no rights which the rich are bound to respect.”
Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.
      C.      Kasus Pelanggaran Hukum vs Persamaan di Hadapan Hukum
Kasus kecelakaan maut (01/01/2013) yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa, putra bungsu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, menjadi ujian bagi para penegak hukum dalam menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Mobil BMW X5 jenis SUV yang dikemudikan Rasyid menabrak angkutan umum pelat hitam Daihatsu Luxio, tabrakan itu mengakibatkan dua orang tewas dan tiga orang lain terluka.
Usai kecelakaan terjadi, pejabat Polda Metro Jaya tampak sangat berhati-hati dalam menyampaikan informasi. Tidak ada keterbukaan seperti kasus ‘Xenia maut’ Afriyani Susanti yang menewaskan sembilan orang di Tugu Tani Jakarta beberapa waktu lalu. Kala itu polisi langsung membeberkan fakta terkait kecelakaan tersebut, dari data pengemudi hingga penetapan tersangka. Sementara dalam kasus Rasyid, polisi seakan ragu dan menunggu ‘lampu hijau’ dari Hatta Rajasa terlebih dahulu yang beberapa jam kemudian melakukan konperensi pers.
Lihat saja kasus Lanjar Sriyanto, pria asal Karanganyar, Jawa Tengah. Ia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan telah membunuh istrinya. Mulanya, ia berboncengan sepeda motor dengan anak dan istrinya dari suatu kunjungan Lebaran tahun lalu. Di tengah perjalanan, istrinya terpental ke sisi lain jalan lantaran Lanjar tak mampu menguasai motornya setelah mobil di depannya berhenti mendadak. Nahas, dari arah berlawanan melaju mobil yang dikemudikan oleh anggota kepolisian setempat. Tanpa bisa dicegah, istri Lanjar pun tergilas mobil itu dan meninggal dunia seketika.
Kelanjutan kasus itu kita semua tahu. Tidak cukup kehilangan istri, Lanjar pun mesti mendekam di penjara. Sebab, hukum mengatakan, dialah yang menyebabkan istrinya tewas, bukan supir yang anggota kepolisian itu. Lanjar yang lemah, miskin, buta hukum, tak punya koneksi pejabat, dan tidak mampu membayar pengacara itulah yang mesti bertanggung jawab. Supir anggota kepolisian yang menabrak istri Lanjar hingga tewas itu justru terlepas dari jeratan hukum. Ironis.
Tak mengherankan bila apa pun slogan penegakan hukum yang dicanangkan penyelenggara negeri ini, hanya dianggap angin lalu oleh masyarakat. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparatur penegak hukum kian menguat, melebihi berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki citra aparatur penegak hukum yang mengalami keterpurukan.
Penegakkan hukum dianggap tidak berlaku terhadap semua orang, tapi hanya terhadap golongan tertentu yang memiliki keterbatasan sumber daya dan dana. Persamaan di depan hukum (equality before the law) belum sepenuhnya terwujud. Sebaliknya, ketidaksamaan di depan hukum (unequality before the law) seakan telah menjadi praktik keseharian kita. Fenomena pelanggaran hukum yang terjadi seperti ungkapan di atas tersebut disebabkan masih lemahnya perangkat hukum (legal substance) dan aparat penegak hukum (legal structure) serta budaya hukum (legal culture) kita hari ini.






BAB III
PENUTUP

      A.     Kesimpulan
Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak terjadi suatu diskriminasi dalam hukum di Indonesia dimana ada suatu pembeda antara penguasa dengan rakyatnya.











DAFTAR PUSTAKA




1 comment:

  1. Mantap tulisannya de. Inilah tugas Anda sebagai generasi penerus bangsa utk konsisten menegakkan hukum tanpa pandang bulu, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang akan memotong tangan Fatimah ra, putrinya sendiri, jika mencuri.

    ReplyDelete