Monday, January 4, 2016

Kasus PHK Karyawan PT. Securicor

Pendahuuan
Setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai manusia yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan yang bermartabat dan layak. Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk selalu menjalankan aktifitas dengan bekerja pada berbagai sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan buruh.Menjadi persoalan besar pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di tengah-tengah krisis ekonomi yang semakin sulit, pengangguran dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah ini telah menjadi budaya dikalangan Perusahaan. Menjadi fakta bagi karyawan buruh securicor yang telah bekerja puluhan tahun menggantungkan nasibnya akan tetapi telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Teori
PHK seringkali disamakan dengan pemecatan secara sepihak oleh perusahaan terhadap pekerja karena kesalahan pekerjanya, sehingga kata PHK terkesan negatif. Padahal, pada kenyataannya PHK tidak selalu sama dengan pemecatan. Dalam UU No 13/2003, Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha . PHK dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara sukarela dan tidak sukarela. PHK sukarela merupakan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja (pengunduran diri) tanpa adanya paksaan atau intimidasi dan disetujui oleh pihak perusahaan. PHK tidak sukarela terdiri dari: (1) PHK oleh perusahaan baik karena kesalahan pekerja itu sendiri maupun karena alasan lain seperti kebijakan perusahaan; (2) Permohonan PHK oleh pekerja ke LPPHI (Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) karena kesalahan pengusaha; (3) PHK karena putusan hakim dan (4) PHK karena peraturan perundang-undangan.
Jangan lupa bahwa dalam suatu kejadian PHK, kedua pihak sama-sama merugi. Pekerja merugi karena kehilangan mata pencaharian, dan perusahaan merugi karena kehilangan aset sumber daya manusia serta kehilangan modal yang telah dikeluarkan untuk recruitment dan peningkatan kompetensi pekerja (pelatihan dan pendidikan). Karenanya, untuk dapat melakukan analisis etika PHK, pertama-tama kita harus memiliki sudut pandang yang netral mengenai PHK itu sendiri.
Untuk PHK tidak sukarela, etika menjadi lebih kompleks karena ada salah satu pihak yang tidak menyetujuinya. Dalam makalah ini, PHK tidak sukarela yang akan dibahas adalah jenis pertama, yaitu PHK oleh perusahaan. Terdapat bermacam-macam alasan PHK, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama, karena pekerja (melakukan kesalahan berat atau melanggar peraturan perusahaan); kedua, karena perusahaan (pailit, merugi atau melakukan efisiensi); ketiga PHK yang tidak bisa dihindarkan (selesainya kontrak, pekerja sakit, meninggal dunia atau memasuki masa pensiun).
Analisis
Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack denganSecuricor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidakjelasanstatus mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembalideadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
Fakta dari P4P
  1. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini;
  2. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
  3. Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran ini;
Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H.memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar. Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta:
Dasar Tuntutan
  1. Bahwa pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
  2. Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat
  3. Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.
Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati.

Dari kasus di atas, dapat kita tilik bahwasanya pekerja lebih menyukai untuk merespon secara positif apabila diberikan feedback yang kurang baik mengenai kinerjanya lewat proses penilaian yang jujur dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi tersebut yaitu; outcome fairness, procedural juctice, dan,interactional justice
Jika kita telusuri lebih dalam, kasus di atas membuktikan adanya ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusianya. Sebelum melakukan PHK, perusahaan seharusnya telah melakukan proses penilaian dengan berpatok pada prinsip procedural justice, dimana dengan metode apapun dilakukan penilaian, nantinya akan meghasilkan sebuah keputusan yang menjunjung tinggi sebuah keadilan. PT. Securicor di atas jelas belum mampu memenuhi tahapan ini dengan baik

http://gitacintanyawilis.blogspot.co.id/2010/05/contoh-analisa-kasus-phk.html

No comments:

Post a Comment