PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM
(EQUALITY BEFORE THE LAW)
DWI YANA
NPM: 12212315
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini yang berjudul “Persamaan di hadapan Hukum (Equality Before The Law)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang konstruktif untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Maret 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua
orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting
dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang
juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat
Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie
(KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa
kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme
hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum
kolonial.
Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum
yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu
wajah utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial).
Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa
secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan
perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah
ekonomi itulah yang menjadikan asas Persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah
dinamika sosial dan ekonomi.
UUD 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat
(1). Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat
apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat
jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul
dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang
sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara
dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above
the law’, artinya tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada
subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan
subyek hukum tersebut berada diatas hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law)
1.
Konsep Equality Before The Law dalam negara hukum
Di
belahan seantero bumi ini, terkenal dalam kalangan penggiat ilmu hukum.
Ditambah lagi kedua aliran besar berasal dari negara-negara yang menjajah pada
abad kolonialisasi. Kedua aliran itu diantaranya;
a.
Civil
law
Pemikiran
timbulnya negara hukum timbul sebagai reaksi dari adanya konsep negara polis (polizei staat). Polizei staat berarti
negara menyelenggarakan keamanan dan ketertiban serta memenuhi seluruh
kebutuhan masyarakatnya. Tetapi konsep negara ini lebih banyak diselenggarakan
oleh penguasa. Seperti yang dikatakan oleh Roberto Von Mohl “sebagai polisi
yang baik melaksanakan fungsinya berdasarkan hukum serta memperhatikan
masyarakat. Tetapi yang banyak ialah polisi yang tidak baik, yang bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat yang memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan
sendiri atau kelompoknya.
Konsep negara hukum Imanuel Kant yang ditulis
dalam karya ilmianya yang berjudul “Methaphysiche Ansfangsgrunde”.
“sebagai dikemukakan bahwa pihak yang bereaksi
teehadap negara Polizei ialah “orang-orang
kaya dan cendikiawan”. Orang kaya (borjuis) dan
cendikiawan ini menginginkan agar hak-hak kebebasan pribadi tidak diganggu,
yang mereka inginkan ialah hanya ingin kebebasan mengurusi kepentingannya
sendiri. Konkritnya ialah agar permasalahan perekonomian menjadi urusan mereka
dan negara tidak ikut campur dalam penyelenggaraan tersebut”.
Jadi negara dalam konteks ini hanya menjaga
ketertiban dan keamanan, karena konsep ini biasanya disebut dengan negara hukum
penjaga malam (Nacht wachter Staat). Dan dikenal
konsep negara hukum yang ditawarkan oleh Kant ialah negara hukum liberal.
Selain imenuel Kant, konsep negara hukum Eropa
oleh Frederich Julius Stahl, dalam karya ilmiah yang berjudul “philosopie des
rechts”, diterbitkan pada tahun 1878. Sama halnya dengan kant, hanya
memperlihatkan unsur formalnya saja dan mengabaikan unsur materialnya. Karena
itu konsep negara ini dinamakan konsep negara formal. Stahl berusaha
menyempurnakan negara hukum liberal milik Kant. Dengan pengaruh paham liberal
dari JJ. Rousseau, Stahl menyusun negara hukum formal dengan unsur-unsur
sebagai berikut;
1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia.
2.
Untuk melindungi
hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara haruslah berdasarkan theory atau konsep trias
politica.
3.
Dalam
melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang (wetmating
bestuur).
4.
Apabila dalam
melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi, maka ada pengadilan
administrasi yang mengadilinya.
Dari konsep Stahl ini dapat sambil keimpulan
bahwa negara hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan
membatasi kekuasaan terhadapnya.
Pada abad ke XX negara hukum mengalami
perkembangan yang mendapat perhatian dari para pemikir dari berbagai bangsa
yang menginginkan kehidupan yang demokratis, berkemanusiaan dan sejahtera.
Diantaranya ialah konsep yang diutarakan oleh Paul Scholten, ada unsur utama
dalam membahas Negara Hukum. Pertama; adanya hak
warga negara terhadap Negara/ Raja. Kedua; adanya
pembatasan kekuasaan, dengan mengikuti Montesquieu, Scholten mengemukakan
adanya tiga kekuasaan yang harus terpisah satu sama lain, yaitu kekuasaan
pembentukan undang-undang (legeslatif),
kekuasaan pelaksana Undang-undang (eksekutif) dan
kekuasaan peradilan (yudikatif).
b.
Comman
law
Di Inggris ide negara hukum sedah terlihat
dalam pemikiran Jhon locke, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian.
Antara lain dia membagi kekuasaan membuat undang-undang dan kekuasaan pelaksana
undang-undang, dan ini berkaitan erat dengan konsep the Rule of Law yang sedang berkembang di Inggris pada
waktu itu. Di Inggris the rule of law dikaitkan
dengan hakim dalam rangka menegakannya.
Albert Van Dicey, adalah seorng pemikir
Inggris yang masyur, menulis buku yang berjudul “Introduktion to the study of
the law of the constitution”, mengemukakan tiga hal unsur
utama the rule of law:
1.
Supremacy of law adalah mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara ialah hukum (kedaulatan hukum).
2.
Equality before the law ; kesamaan bagi kedudukan
hukum didepan hukum untuk semua warga negara, baik selaku pribadi maupun
statusnya sebagai pejabat negara.
3.
Constitusional
based on individual right; constitusi
itu ialah tidak merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi itu
diletakan dalam konstitusi itu hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi
manusia itu harus dilindungi.
Konsep the rule of law yang
dikemukakan Albert Van Dicey pada tahun 1885 sudah mengalami perubahan
sepanjang perjalanan. Dilain pihak the rule of law dapat
disalah tafsirkan, karena the rule of law dapat
pula diartikan “dari hukum yang baik berdiri diatas penguasa yang baik dan
dihormati penguasa dan dapat juga diartikan sebagai rule yang buruk dibuat
secara sewenang-wenang dan dilaksanakan sewenang-wenang pula oleh seorang
tirani.
Berikut ini penelitian yang dilakukan oleh
Wade dan Philips yang dimuat dalamConstitusional law.
Ia berpendapat bahwa the rule of law yang
dilaksanakan pada tahun 1955 sudah berbeda dibandingkan dengan waktu awalnya.
Mengenai unsur pertama the rule of law yaitu supremasi hukum, sampai hari ini masi menjadi
unsur yang terpenting dalam kostitusi Inggris. Hanya ada kelompok yang taat
pada hukum yang khusus pada kelompoknya dan keadilan atas ketaatan kelompok
tersebut diadili secara khusus pula, seperti kelompok militer yang berada
diluar yuridiksi pengadilan militer, kelompok Gereja yang diadili oleh
pengadilan gereja. Walaupun supremasi hukum masih merupakan unsur esensial,
namun negara turut campur dalam berbagai bidang individu warga negara. Karena
itu dengan syarat kepentingan umum, negara atau pemerintah dapat mengambil
tindakan yang tidak mungkin dapat dibayangkan terlebih dahulu. Tindakan ini
sudah barang tentu didasarkan apa yang disebut freies ermessen. Hal ini
tentunya mengurangi kadar supreasi hukum.
Mengenai unsur kedua yaitu kesamaan dihadapan
hukum. Hal ini tidaklah berarti bahwa kekuasaan warga negara dapat disamakan
dengan kekuasaan pejabat negara, pemberiaan kekuasaan khusus kepada pejabat
negara untuk melaksanakan tugas kenegaraan dianggap tidak melanggar the rule of law. Selai itu, ada pula yang
merupakan pengecualian, diantaranya; (a) hak imunitas bagi raja, (b) wakil
negara lain juga mempunyai hak kekebalan, (c) persatuan dagang dapat mengatur
sendiri urusannya kedalam, dan (d) adanya kekuasaan arbitase.
Hal diatas dianggap oleh sebahagian ahli
adalah mengurangi makna dari the rule of law.Selain
kedua sarjana tersebut, pada tahun 1976, Roberto Mangaberia, menulis
karya law in modern society; bahwa dewasa ini terjadi; pertama; meluasnya arti “kepentingan umum”, seperti
pengawasan terhadap kontrak-kontrak yang curang, penimbunan barang, monopoli,
hal ini menunjuka bahwa campur tangan pemerintah menjadi lebih luas. Kedua;adanya peralihan dari gaya formalitas dari the rule of law ke orientasi prosedural yang
subtantif dari keadilan. Hal ini terjadi karena dinamika negara kesejahteraan (the welfare state). Hal terakhir ini biasanya
disebut due proses of law. Negara Inggris lebih mengutamakan
bagaimana agar keadilan benar-benar dinikmati oleh warganya.
2.
Konsep Equality Before The Law didalam negara pancasila
Begitu juga dengan negara hukum Indonesia yang
telah meratifikasi konsep dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang tertuang
didalam Konstitusi dan semangat pancasilaisme. Instrumen Hak Asasi Manusia
induk yang telah diratifikasi tercermin didalam UU No 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Konvenan Hak Ekonomi
Sosial dan Budaya serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Konvenan Hak Sipil
Politik, dan kenvensi-konvensi maupun norma-norma PBB yang lainnya. Tetapi
Indonesia telah berubah dalam prilaku maupun penegakan hukum itu sendiri.
Terlebih lagi menyangkut tentang Equality Before The Law didalam
aktivitas hukum Indonesia pancasila. Ada beberapa segi yang perlu ditinjau dari
konsep Equality Before The Lawpunyanya pancasila dengan tidak
meninggalkan sejengkalpun prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, penjelasan yaitu
Keadilan Sosial
Berbicara kedilan sosial, tidak ada pemisahan
antara hak sipil politik dengan hak ekonomi sosial dan budaya. Kedua induk HAM
ini harus selajan beriringan. Tidak ada yang diprioritaskan dalam
pelaksanaannya. Tentang Equality Before The Law bukan
hanya dalam satu sisi diatas. Hak dibidang politik misalnya; hak dasar dibidang
politik tercermin dalam pasal 28 “kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan tulisan maupun lisan ditetaipan dalam
Undang-undang”. Selanjutnya pasal 27 Ayat 1, “segala warga negara bersamaan
kedudukannya didepan hukum dan pemerintah tidak ada kecualinya:. Penjelasan
pasal itu menegaskan prinsip penting bahwa Indonesia adalah negara hukum dan
diperkuat dalam amandemen Pasal 1 Ayat 3 berbunyi “negara Indonesia adalah
negara hukum”.
Kritikan penulis, walaupun negara Indonesia
adalah negara hukum seperti yang telah dijelaskan dan tertuang didalam
kostitusi. Tetapi harus diingat bahwa tujuan negara adalah beranjak kepada
keadilan sosial yang tertuang didalam konstitusi juga. Saya kutif pernyataan
konstitusi yang terdapat di preambul UUD Tahun 1945 dari awal berlaku sampai
Amanden ke-4 masi h berlaku;
“kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara
Republik Indonesia, yang berbentuk dalam susunan Negara Repuplik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh himkat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perperwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Maka
dari itu, Robeerto M. Unger “Law and Modren Society: Toward
a Criticism Of Social Theory” menjelaskan tentang Rule Of Law dalam; pertama; Rule Of Law dalam arti luas. Rule Of Law didefenisikan lewat gagasan tentang
sifat netral (neutrality), seragam (uniformity), dan dapat diprediksiakan
(predictability). Penggunaan pemerintah harus berlangsung didalam
batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan
tindakan. Segenap peeraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara
seragam. Dengan demikian dipahami Rule Of Law tidak
ada hubungannya dengan muatan norma-norma hukum. Kedua; Rule Of Law dalam
arti bebas. Maka ideal tersebut dalam versi yang lebih ketat mengajukan
tuntutan-tuntutan kepada metode legislasi sendiri. Ideal Rule Of Law menghendaki agar hukum dibuat menurut
prosedur yang dapat diterima setiap orang turut menyumbangkan peran sertanya
dalam proses pembuatan hukum. Karena itu, diharapkan tatanan hukum akan
memiliki sifat yang digambarkan sebagai otonomi Subtantif; mewakili
keseimbangan diantara golongan-golongan yang saling bersaing, bukan perwujudan
kepentingan dan cita-cita faksi tertentu
B.
Persamaan
di Hadapan Hukum
Sebagai
negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara
hukum”; maka negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum
serta melindungi hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti
bahwa semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality
before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap orang
berlaku dengan tidak membeda-bedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan,
pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga
peradilan.
Persamaan
di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara
statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka
harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi
semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka
mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem).
Persamaan
di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan
jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to
justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut
Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum
yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa
kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh
akses kepada keadilan.
Perolehan
pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal
counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap
orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan
bagi semua orang (justice for all). Kalau seorang yang mampu
mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk
membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga
harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih
pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga
bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya
dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang yang mampu saja
yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum.
Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena tidak sanggup
membayar uang jasa (fee)seorang advokat yang tidak terjangkau oleh
mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan hukum tidak tercapai.
Selain
itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh
pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu
gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan,
huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan Von Briesen sebagai
berikut:
“Legal
aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and
protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen,
better house servants; it antagonizes the tendency toward communism; it is the
best argument against the socialist who cries that the poor have no rights
which the rich are bound to respect.”
Keadaan
ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin di
sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin
belum dapat memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003
Undang-Undang Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang
mengakui bantuan hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan
lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana
memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep
bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai
lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang
menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya
merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku
sebagai organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang
berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa
kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono
publico.
C.
Kasus
Pelanggaran Hukum vs Persamaan di Hadapan Hukum
Kasus kecelakaan maut (01/01/2013)
yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa, putra bungsu Menteri Koordinator
Perekonomian Hatta Rajasa, menjadi ujian bagi para penegak hukum dalam
menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum (equality before the law).
Mobil BMW X5 jenis SUV yang dikemudikan Rasyid menabrak angkutan umum pelat
hitam Daihatsu Luxio, tabrakan itu mengakibatkan dua orang tewas dan tiga orang
lain terluka.
Usai
kecelakaan terjadi, pejabat Polda Metro Jaya tampak sangat berhati-hati dalam
menyampaikan informasi. Tidak ada keterbukaan seperti kasus ‘Xenia maut’
Afriyani Susanti yang menewaskan sembilan orang di Tugu Tani Jakarta beberapa
waktu lalu. Kala itu polisi langsung membeberkan fakta terkait kecelakaan
tersebut, dari data pengemudi hingga penetapan tersangka. Sementara dalam kasus
Rasyid, polisi seakan ragu dan menunggu ‘lampu hijau’ dari Hatta Rajasa
terlebih dahulu yang beberapa jam kemudian melakukan konperensi pers.
Lihat saja kasus Lanjar Sriyanto, pria
asal Karanganyar, Jawa Tengah. Ia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan telah ‘membunuh’ istrinya. Mulanya, ia berboncengan
sepeda motor dengan anak dan istrinya dari suatu kunjungan Lebaran tahun lalu.
Di tengah perjalanan, istrinya terpental ke sisi lain jalan lantaran Lanjar tak
mampu menguasai motornya setelah mobil di depannya berhenti mendadak. Nahas,
dari arah berlawanan melaju mobil yang dikemudikan oleh anggota kepolisian
setempat. Tanpa bisa dicegah, istri Lanjar pun tergilas mobil itu dan meninggal
dunia seketika.
Kelanjutan kasus itu kita semua tahu.
Tidak cukup kehilangan istri, Lanjar pun mesti mendekam di penjara. Sebab, ‘hukum’ mengatakan, dialah yang menyebabkan
istrinya tewas, bukan supir yang anggota kepolisian itu. Lanjar yang lemah,
miskin, buta hukum, tak punya koneksi pejabat, dan tidak mampu membayar
pengacara itulah yang mesti bertanggung jawab. Supir anggota kepolisian yang
menabrak istri Lanjar hingga tewas itu justru terlepas dari jeratan hukum.
Ironis.
Tak mengherankan bila apa pun slogan
penegakan hukum yang dicanangkan penyelenggara negeri ini, hanya dianggap angin
lalu oleh masyarakat. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparatur penegak
hukum kian menguat, melebihi berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki
citra aparatur penegak hukum yang mengalami keterpurukan.
Penegakkan hukum dianggap tidak
berlaku terhadap semua orang, tapi hanya terhadap golongan tertentu yang
memiliki keterbatasan sumber daya dan dana. Persamaan di depan hukum (equality
before the law) belum sepenuhnya terwujud. Sebaliknya,
ketidaksamaan di depan hukum (unequality before the law) seakan telah menjadi
praktik keseharian kita. Fenomena
pelanggaran hukum yang terjadi seperti ungkapan di atas tersebut
disebabkan masih lemahnya perangkat hukum (legal substance) dan
aparat penegak hukum (legal structure) serta budaya hukum (legal culture)
kita hari ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tujuan utama adanya Equality before
the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum
sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya.
Diharapkan dengan adanya asas ini tidak terjadi suatu diskriminasi dalam hukum
di Indonesia dimana ada suatu pembeda antara penguasa dengan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mantap tulisannya de. Inilah tugas Anda sebagai generasi penerus bangsa utk konsisten menegakkan hukum tanpa pandang bulu, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang akan memotong tangan Fatimah ra, putrinya sendiri, jika mencuri.
ReplyDelete